Senin, 30 Juni 2025

Bulan Muharram: Misi Kemanusiaan dalam Persatuan dan Perdamaian

Ada momen-momen dalam hidup yang membuat kita terdiam, merenung, bahkan menitikkan air mata tanpa suara. Bulan Muharram adalah salah satunya. Ia datang setiap tahun bukan hanya membawa angka baru dalam kalender hijriah, tetapi juga mengetuk hati, menyentuh nurani, dan mengajak kita untuk kembali pada nilai-nilai kemanusiaan yang sering terlupakan di tengah hiruk-pikuk dunia.

Setiap kali Muharram datang, hati umat Islam seolah disapa oleh waktu yang penuh makna. Ini bukan sekadar pergantian bulan dalam kalender hijriyah, tetapi momentum suci yang mengetuk kesadaran kita akan sejarah, kemanusiaan, dan cinta pada perdamaian. Muharram adalah bulan yang penuh haru, penuh pelajaran, dan penuh ajakan untuk memperbaiki dunia dengan kasih, bukan dengan kebencian. 

Muharram bukan sekadar awal tahun. Ia adalah waktu yang disucikan Allah. Dalam firman-Nya:

"Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus..." (QS. At-Taubah: 36)

Salah satu dari empat bulan haram itu adalah Muharram. Disebut “haram” karena pada bulan ini, Allah melarang segala bentuk kekerasan dan pertumpahan darah. Sebuah ajakan langit agar bumi tenang. Sebuah peringatan halus bahwa manusia bukan diciptakan untuk saling memusnahkan, tetapi untuk saling menguatkan.

Namun sejarah pun bicara. Di bulan ini, umat Islam menyimpan luka paling dalam yang pernah tercatat dalam sejarah mereka. Tragedi Karbala. Saat cucu tercinta Rasulullah ﷺ, Sayyidina Husain bin Ali radhiyallahu ‘anhuma, dibantai bersama keluarganya. Bukan oleh orang asing, tapi oleh sesama umat yang lupa akan cinta, lupa akan nilai, dan terbutakan oleh ambisi.

Karbala bukan sekadar kisah duka. Ia adalah cermin kemanusiaan. Dalam setiap tetes darah Husain, terdapat seruan sunyi tentang keadilan. Dalam tangis para wanita dan anak-anak di padang pasir itu, ada jeritan yang tak pernah padam: “Bangkitlah wahai manusia! Jangan biarkan kebencian menguasaimu.”

Tapi bagaimana Islam menyikapi peristiwa sepedih ini? Tidak dengan balas dendam. Tidak dengan menanam bibit kebencian baru.

Rasulullah ﷺ bersabda:

"Barang siapa yang tidak menyayangi, maka ia tidak akan disayangi." (HR. Bukhari dan Muslim)

Dan dalam hadits lain:

"Sesungguhnya orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya." (HR. Tirmidzi)

Muharram menjadi panggung spiritual bagi kita untuk memaknai bahwa kekuatan sejati bukan pada senjata atau kuasa, melainkan pada akhlak, kasih sayang, dan kemampuan untuk memaafkan. Seperti Nabi Yusuf ‘alaihissalam yang memaafkan saudara-saudaranya yang dulu menjualnya sebagai budak. Seperti Rasulullah ﷺ yang memaafkan orang-orang Quraisy setelah penaklukan Makkah, meskipun mereka dulu menyiksanya, memboikotnya, bahkan berusaha membunuhnya.

 Inilah Islam, Agama Cinta & Agama Damai.

Bulan Muharram mengajak kita untuk lebih dari sekadar mengenang peristiwa sejarah. Ia memanggil kita untuk menjadi bagian dari solusi, bukan bagian dari masalah. Menjadi perekat, bukan perusak. Menjadi pelita, bukan api. Karena persatuan bukan hanya tentang duduk bersama dalam forum, tapi tentang hati yang saling lapang menerima perbedaan, dan tangan yang saling menggenggam untuk membangun.

 Dalam hadits riwayat Muslim, Rasulullah ﷺ bersabda:

"Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, seperti satu bangunan yang saling menguatkan."

Lalu mengapa hari ini, kita sering melihat umat Islam saling membenci hanya karena berbeda mazhab, berbeda cara ibadah, bahkan berbeda pilihan politik? Bukankah seharusnya kita menangis bersama saat melihat anak-anak terlantar di Palestina, di Yaman, di Sudan, di Rohingya? Bukankah kita seharusnya bersatu menghadapi ketidakadilan, bukan saling menjatuhkan?

Muharram adalah panggilan nurani. Bahwa dunia ini sudah cukup penuh luka. Jangan kita tambah lagi dengan kebencian. Bukankah lebih mulia jika kita menjadi penyembuh daripada penyebab luka? Lebih baik menjadi jembatan daripada jurang?

Ulama besar seperti Imam Al-Ghazali pernah berkata, “Hati adalah cermin jiwa. Jika engkau kotori dengan kebencian, engkau takkan melihat kebenaran.”

Maka mari bersihkan hati kita di bulan yang suci ini. Kita mulai tahun baru Islam dengan niat baru: menjadi agen perdamaian. Menjadi umat Rasulullah yang sesungguhnya, yang menebar rahmat, bukan laknat.

"Dan tidaklah Kami mengutus engkau (Muhammad), melainkan untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam." (QS. Al-Anbiya’: 107)

Di sepertiga malam, saat dunia terlelap dan langit bersaksi, kita panjatkan doa yang paling jujur dari lubuk hati: Ya Allah, jadikan kami manusia yang mencintai kedamaian, yang menebar kasih sayang, dan yang selalu bersatu dalam kebaikan. Jangan biarkan kami menjadi pembawa luka dalam sejarah. Jadikan kami penerus cahaya para nabi.

Muharram bukan hanya milik masa lalu. Ia milik setiap hati yang merindukan dunia yang damai. Dan damai itu dimulai dari hati kita sendiri.

Muharram adalah milik mereka yang mencintai kedamaian. Misi kemanusiaannya tak akan pernah usang selama kita masih percaya bahwa cinta lebih kuat dari kebencian, dan persatuan lebih mulia dari perpecahan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar