Bulan suci Ramadhan – bagi seluruh umat Islam – adalah bulan yang sangat dinanti-nantikan. Tak heran jika seluruh masjid penuh dengan jamaah yang akan melakukan Shalat Tarawih.
Hal itu disebabkan pemahaman semua umat Islam bahwa salah satu
keistimewaan yang ada pada bulan Ramadhan adalah terbukanya pintu Rahmat dan
Ampunan dari Allah SWT.
Semua umat Islam berbondong-bondong melakukan berbagai amalan demi menambah pundi-pundi pahala. Tak hanya yang wajib. Ibadah Sunnah pun dilakukannya. Mulai dari Shalat Sunnah, Tadarrusan, hingga berbagi takjil kepada sesama.
Dasar dari semua itu adalah janji Allah yang akan melipat gandakan
setiap amalan yang dilakukan. Semisal, satu kali Shalat Sunnah di Bulan
Ramadhan senilai dengan tujuh kali ibadah Shalat wajib di luar bulan Ramadhan.
Dibalik semua janji-janji yang menggiurkan tersebut. Bukan berarti
tidak meninggalkan setitik permasalahan di tengah umat Islam. Masih saja ada
yang tergiur atas hal yang bersifat duniawi dari pada segala kelimpahan nikmat
Allah SWT yang telah disebutkan.
Negeri yang Puasa
Ujian dibulan suci Ramadhan kali ini bukan hanya menahan lapar, dahaga
dan jimak serta praktik yang didasari hawa nafsu pada umumnya kita dapati.
Lebih dari itu, kesabaran kita di uji oleh tontonan yang jelas sangat menguras pikiran
dan emosi.
Bagaimana tidak, begitu ramai diperbincangkan di Jagad Maya Negara kita
dijamah secara berjamaah oleh para komplotan yang rakus akan rupiah. Ingin
menyejahterakan dirinya sendiri.
Bumi Pertiwi terluka dan kita pun bersedih. Namun, tak ada kuasa untuk
menyela manuver mereka. Ilmu yang tak beradab. Tertawa saat mendapati dirinya
tertangkap basah menjamah sang Pertiwi.
Tidak tanggung-tanggung, kelompok para penjarah tersebut bersiasat
menjarah secara berjamaah. Mereka tersebar menggerogoti di setiap sendi negeri
ini. Dari sektor logam mulia, minyak bumi, perbankan hingga agama. Dan nilainya
cukup fantastis. Menyentuh angka ribuan triliun.
Sebut saja disektor Migas yang di keruk hingga menyebabkan kerugian
negara di kisaran hampir mencapai nilai 1 Kuadriliun, berdasarkan informasi
dari kompas. Kasus ini menempatkan Pertamina berada di puncak klasemen liga
korupsi Indonesia. Saya tak habis pikir jika hukuman mati tidak diberlakukan
bagi para pelakunya.
Menyusul diurutan kedua dari sektor logam mulia yang menyebabkan negara
kita merugi hingga 300 Triliun rupiah. Dan di ikuti diposisi ketiga adalah
kasus Mega korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang menyebabkan
kerugian negara Indonesia sebesar 138 Triliun.
Lebih lanjut kerugian negara juga disebabkan oleh penyerobotan lahan
sawit yang menyebabkan kerugian negara sebesar 78 triliun. Kasus PT Asabri
22,7bTriliun dan Jiwasraya 16,8 triliun.
Dan terakhir kasus dana LPTQ yang temuannya sekitar 300 juta dari total
kerugian 500 juta. Ini dari satu kabupaten saja. Belum lagi jika di audit
seluruh Indonesia. Mungkin angkanya menyentuh triliunan. Ini hanya asumsi
pribadi penulis. Akan tetapi tidak
menutup kemungkinan terjadi di beberapa wilayah di Indonesia.
Dari seluruh data diatas. Jika dikalkulasikan maka nilainya hampir
menyentuh angka 2 (dua) kuadriliun. Ini angka yang sangat fantastis jika
dibandingkan hutang negara kita saat ini berada diangkat 8.338,34 Triliun atau
lebih dari 30% atas hutang negara.
Lantas, yang menjadi pertanyaannya adalah kenapa hal tersebut terjadi
di negara yang katanya masyarakatnya agamis, taat dalam beribadah. Negara yang
menjunjung tinggi nilai luhur. Negara yang beradab dan berbudaya. Kemanakah
semua identitas itu.
Semua problematika politik kebangsaan yang terjadi saat ini menjadi
bukti dan pertanda begitu gersangnya Indonesia saat ini. Negara kita puasa dari
nilai luhur para penguasanya. Diakal mereka hanya kalkulasi ongkos politik yang
harus dikembalikan. Politik balas Budi yang wajib terbayarkan. Begitu miris
bangsa ini.
Figur Penawar Dahaga
Bung Karno pernah mengatakan dalam pidatonya setelah menetapkan tanggal
10 November sebagai hari pahlawan bahwa “Bangsa yang besar adalah Bangsa yang
menghormati jasa para pahlawannya.
Apakah dengan kondisi saat ini relate dengan ungkapan tersebut. Kemanakah
bangsa besar tersebut yang seharusnya menghargai perjuangan para pahlawannya.
Apakah kondisi ini yang dimaksudkan oleh bung Karno bahwa “Perjuanganku lebih mudah karena
mengusir penjajah, perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu
sendiri”.
Indonesia sejatinya tidak kekurangan orang pintar. Indonesia tidak
kekurangan orang yang terdidik. Akan tetapi Indonesia kekurangan orang yang
berbudaya luhur. Sikap korup sama sekali tidak merepresentasikan nilai budaya
luhur bangsa kita.
Bung Hatta pun pernah menyampaikan kekhawatirannya terkait sikap korup
ini. Beliau mengatakan, “Jangan biarkan korupsi menjadi bagian dari budaya
Indonesia”.
Lebih lanjut beliau pernah berpesan, “Korupsi di Indonesia bisa hilang
dengan undang-undang yang ada asalkan para pejabat yang berwenang mau
bertindak”.
Dasar dari pesan pemimpin bangsa ini adalah nilai luhur para penghulu
bangsa kita terdahulu. Korupsi bukanlah DNA bangsa kita. Ia adalah warisan para
sosok tamak dari zaman sejarah hingga era reformasi sampai saat ini
Salah satu bukti bahwa korup bukanlah DNA negara kita. Sebut saja Tan
Malaka. Sosok yang sangat kontroversi di zamannya. Yang dianggap sebagai
ancaman bagi kolonial Belanda sehingga ia diasingkan hingga keluar negeri.
Separuh hidupnya dihabiskan di pengasingan demi memperjuangkan Negeri
Indonesia.
Hal itu ditintakan oleh seorang peneliti dan penulis buku Tan Malaka,
Harry A Poezze. Beliau mengatakan, Saat masih hidup Tan Malaka mendedikasikan
seluruh hidupnya untuk kepentingan bangsa. Saat itu, Tan Malaka bahkan sampai
rela dipenjara dan dibuang oleh Belanda ke luar negeri pada 1922 karena
tindakannya dinilai mengancam kepentingan negeri kolonial di Nusantara.
Tak heran jika ia dijuluki bapak Republik karena ia adalah orang yang
pertama kali menggunakan nama Republik Indonesia dalam bukunya Menuju Republik.
Pemikirannya yang progresif menginspirasi tokoh negara dan pemuda Indonesia
untuk berjuang memerdekakan Indonesia.
Diatas adalah Realita jika kita melihat dalam perspektif Nasionalisme.
Begitu pula dari sudut pandang agama. Ada sebuah ungkapan yang masyhur
ditelinga masyarakat Indonesia khususnya yang beragama Islam yaitu Hubbul
Wathan Minal Iman, Cinta Tanah Air adalah bagian dari pada Iman.
Ungkapan ini dicetuskan oleh K.H Wahab Hasbullah yang merupakan tokoh
Agamais pendiri NU yang juga ikut andil dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Mereka bersepakat bahwa berjuang demi tanah air adalah bagian dari Jihad dan
apa bila meninggal maka termasuk Syahid.
Para ulama sepuh termasuk Mbah Hasyim Asy’ari, menggunakan slogan ini
sebagai upaya membakar semangat para pejuang bangsa khususnya dari kalangan
santri untuk terus memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Dan slogan tersebut
menjadi bagian dari implementasi semangat Nasionalisme yang dimiliki oleh para
tokoh agamis bangsa kita hingga saat ini.
Masih banyak tokoh bangsa lainnya yang menjadi panutan dalam memahami
konsep berbangsa dan bernegara. Mereka memiliki satu pegangan bersama yaitu
semangat nasionalisme. Mencintai bangsanya dengan sepenuh hati bahkan jika
harus mengorbankan jiwa dan raganya.
Semua itu mereka lakukan demi satu tujuan yaitu agar masyarakat dapat
merasakan hidup yang aman damai dan tenteram. Itulah yang harus di contoh oleh
para pemangku kekuasaan saat ini jika ingin mewujudkan sila ke 5 Pancasila.
Mengutip perkataan bung Hatta, “Korupsi di Indonesia bisa hilang dengan
undang-undang yang ada asalkan para pejabat yang berwenang mau bertindak”.
Sehingga, bukan tidak mungkin Indonesia terbebas dari dahaga perilaku
anti korup jika para perangkat petinggi bangsa ini mengikuti teladan yang
dicontohkan oleh para pendahulunya.
Wallahu A’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar